ACEHZONE.com | MAKASSAR – Buku ALDERA: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 merekam salah satu etape perlawanan terhadap rezim otoritarianisme Orde Baru pada awal 1990-an hingga kejatuhan Soeharto. Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA) memainkan peranan penting dalam interaksi perlawanan atas rezim.
Buku ini menceritakan gerakan pemuda progresif di dekade terakhir kekuasaan Orde Baru yang aktivitasnya bermula di awal 1990-an melalui gerakan pembelaan petani dan pemuda yang berujung pada perjuangan politik untuk mengakhiri otoritarianisme Orde Baru.
Pilihan bergerak bersama rakyat yang dimulai dengan membangun gerakan-gerakan perlawanan atas perampasan tanah di Jawa Barat, telah membangun solidaritas gerakan ini dan menjelma menjadi gerakan politik adiluhung sebagai pengontrol sekaligus penentang langsung kebijakan Soeharto. Tentu saja represi pada para pegiatnya menjadi bagian tak terpisah dari dinamika gerakan ini. ALDERA memang mencukupkan diri bertransformasi menjadi gerakan politik kerakyatan yang tidak berubah menjadi partai politik.
Namun, pasca-Orde Baru sejumlah pegiatnya kemudian menjadi bagian penting dalam dinamika politik Indonesia. ALDERA adalah sejarah dan spirit gerakan kaum muda yang berkontribusi mendorong reformasi 1998.
Bukan hanya menarik untuk dibaca, tetapi kecermatan gerakan ini menangkap dinamika sosial politik tetap relevan untuk diadopsi pada etape-etape tertentu, ketika kekuasaan sudah menjelma sebagai instrumen pengepul kekayaan oleh sebagian elite dan semakin abai serta represif pada rakyat, yang justru seharusnya dilindungi dan disejahterakan.
Pada halaman-halaman awal buku dibuka oleh Nezar Patria dengan tajuk Aldera dan Kembalinya kata “Rakyat”. Dimulai dengan menjelaskan apa itu ALDERA.
Aliansi Demokrasi Rakyat atau disingkat ALDERA adalah salah satu organisasi gerakan kaum muda anti-otoritarian yang penting dicatat dalam gelombang prodemokrasi menentang rezim Orde Baru di awal 1990-an. Kata “demokrasi rakyat” di akhir nama organisasi ini membuat orang paham wadah anak muda ini bermuatan agenda politik progresif. Sedikitnya, dalam konstelasi gerakan prodemokrasi, mengadopsi kata “rakyat” di tengah rezim otoritarian berarti menarik garis terang antara perjuangan kepentingan rakyat dan elite kekuasaan. ALDERA dengan sadar berada di garis politik kerakyatan ini.
Sejak kemunculannya pada awal 1993, ALDERA menarik perhatian publik lewat sebuah aksi yang menuntut Partai Demokrasi Indonesia (PDI) agar tidak mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden. Meskipun sejarah mencatat PDI, yang waktu itu dalam kendali politik Orde Baru, tetap saja kembali mencalonkan Soeharto menjadi presiden, dan tak acuh terhadap berbagai kritik, ALDERA telah melakukan hal berani pada masanya.
Keberanian memang barang langka pada masa 1990-an. Sejak kampus dibungkam oleh kebijakan normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK) pada 1978 dan Dewan Mahasiswa dibubarkan, mahasiswa Indonesia seperti ayam jago tapa taji. Keberhasilannya sebagai driving forces yang menjatuhkan Soekarno pada 1966, tinggal sebagai sebuah mitos atau nostalgia. Bersamaan dengan kebijakan depolitisasi kampus, sebagai bagian rencana Orde Baru untuk menciptakan floating mass atau massa mengambang, mahasiswa pasca-1966 harus berjuang kembali mendapatkan otoritas politiknya sebagai juru bicara rakyat bagi Indonesia yang sedang berubah. Sebuah negeri yang dulu termasuk new emerging forces yang anti-imperalisme dan kapitalisme, menjadi sebuah negeri yang siap membuka diri kepada pasar kapitalisme global.
Orde Baru di bawah Soeharto adalah rezim yang terampil menerapkan politik otoritarianisme. Dengan politik massa mengambang, dan pengendalian organisasi massa sektoral melalui wadah tunggal, partai politik (PPP dan PDI) praktis kehilangan. tangannya ke basis massa. Sementara Golkar semakin menguatkan perannya sebagai partai penguasa Orde Baru, dan menjalankan hegemoni rezim atas tafsir tunggal Pancasila. Kenyataannya, dalam praktik sehari-hari, kekuasaan Orde Baru justru kian kontradiktif dengan nilai-nilai yang diagungkan.
Dalam kondisi seperti di atas, gerakan mahasiswa di awal 90an mencari bentuk baru. Warisan angkatan sebelumnya, terutama dari gerakan mahasiswa generasi ’70-an dan ’80-an yang “terusir” dari kampus akibat NKK/BKK, adalah pembentukan lingkaran-lingkaran studi serta aksi advokasi rakyat. Pembelaan mahasiswa atas kasus penggusuran tanah di Pulau Jawa, mulai kasus Kedung Ombo, Cilacap, Badega, hingga Blangguan, menjadi tren baru pada masa itu. Suatu pola baru bertumbuh, mahasiswa bermain di luar kampus, bertemu dengan rakyat, dan belajar dari mereka yang terpinggirkan.
Dengan bantuan teori-teori kritis tentang pembangunan di dunia ketiga, di ujung politik Perang Dingin di pentas global, mahasiswa Indonesia menemukan kembali semangatnya untuk melawan otoritarianisme Orde Baru. Keberhasilan mahasiswa di Korea Selatan dan Filipina menumbangkan kediktatoran pada akhir 1980-an, menumbuhkan kembali semangat anti-otoritarianisme di Indonesia. Spektrum politik kerakyatan pun mulai bangkit setelah cukup lama menghilang dalam kosakata politik rezim masa itu.
Munculnya kembali kata “rakyat” dalam gerakan mahasiswa 1990-an boleh disebut sebuah antitesis atas gaya politik Orde Baru yang menempatkan rakyat berdaulat hanya sebagai “kawula” yang harus selalu tunduk pada penguasa. Orde Baru berkuasa sebagai rezim yang paling solid dalam membungkam suara kritis, melakukan pengendalian total atas kehidupan sipil dan politik, peminggiran hak asasi manusia, dan sebagainya. Ini sebuah orde yang setia menjalankan formula pembangunan ekonomi dengan pendekatan represif militeris.
Demikianlah, dibenturkan pada kekuasaan yang brutal, gerakan mahasiswa 1990-an makin mendekat ke arah politik kerakyatan.
Di atas panggung gerakan itu, muncul beragam bentuk organisasi dari komite aksi di kampus, forum solidaritas yang mulai keluar kampus dan masuk ke isu-isu kerakyatan, forum komunikasi antarkampus dan antardaerah, hingga pembentukan organisasi yang lebih solid dan berspektrum nasional, seperti ALDERA dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Gerakan mahasiswa Indonesia pada masa itu mematangkan apa yang pernah dirintis angkatan sebelumnya, sekaligus mendobrak mitos elitisme gerakan mahasiswa saat menjatuhkan Soekarno, atau dikenal dengan Angkatan 1966.
Munculnya ALDERA dan SMID (kelak di pertengahan 1996, SMID membentuk partai yang didominasi anak muda bernama Partai Rakyat Demokratik, dan memecah kebisuan politik kepartaian Orde Baru) juga memberikan warna baru dalam sejarah gerakan prodemokrasi. Perlu dicatat, perspektif kerakyatan sesungguhnya bukan sebuah temuan baru generasi 1990-an. Generasi sebelumnya, terutama Angkatan 1966 yang menyadari kesalahannya, seperti tokoh mahasiswa UI, Soe Hok Gie, mulai memikirkan kembali tentang masa dean nasib rakyat di tengah rezim Orde Baru yang mulai melenceng di awal kekuasaannya.
Baik ALDERA maupun SMID, dua organisasi penting kaum muda yang berada di jalur gerakan politik kerakyatan, tampak menangkap kegelisahan zaman. Bertumbuh dan besar di ujung perbatasan Abad 20, generasi masa itu menatap masa depan dengan redup. Tanpa demokrasi, beragam kemajuan dan kemakmuran hanya menggumpal di atas, sementara rakyat di bawah hidup jauh dari harapan, tak punya wadah yang merdeka untuk menyampaikan mimpi dan aspirasi mereka. Hanya mereka yang punya koneksi kuat, dan nepotisme tingkat tinggi dengan rezim berkuasa, mendapat akses untuk mobilisasi vertikal. Mereka yang hidup tanpa akses akan tetap berada di bawah.
Itu sebabnya, ketika perjalanan gerakan mahasiswa memuncak di 1998 dan memaksa Soeharto turun dari kekuasaan, isu terpenting menarik massa mahasiswa adalah anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Anti-KKN adalah salah satu representasi kegelisahan dalam semangat zaman, sebuah “zeitgeist” yang berhasil membawa jutaan kaum muda yang gelisah dengan masa depannya turun ke jalan di sekujur negeri.
Di arena gerakan mahasiswa 1998 itu pula kata “rakyat” kembali bergema. Sejumlah organisasi aksi memakai berbagai nama, mulai dari “front”, “forum”, “aliansi”, “liga”, “solidaritas”, dan semacamnya, namun dengan isi tuntutan reformasi yang sama. Mulai penghapusan peran militer dalam politik, penghapusan undang-undang politik yang anti-demokrasi, tuntutan anti-KKN, hingga pendidikan murah buat rakyat. Sejumlah organisasi aksi mahasiswa bahkan muncul dengan logo “R” yang dilingkari, yang dapat bermakna “Rakyat” sekaligus juga “Reformasi”.
Orde Baru memang berakhir pada 1998, dan setelahnya gelombang gerakan mahasiswa berangsur surut. Lanskap politik berubah seturut dengan berakhirnya rezim otoritarian itu.
Lalu, reformasi menjadi mantra penting yang menunjukkan garis demarkasi sebuah kekuatan politik baru dan lama. Dalam semangat baru, kita menyaksikan “rakyat” kembali menjadi perhatian, dan bahkan tuntutan reformasi diadopsi menjadi agenda semua kekuatan politik baru. Imaji tentang “rakyat berdaular rupanya belum sepenuhnya menghilang meskipun bayangan gerakan mahasiswa pada 1998 berangsur memudar.
Harus diakui, kemenangan Jokowi atau Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden RI di 2014 dan 2019 tak terlepas dari keterampilannya tampil sebagai wakil “wajah rakyat” di pentas politik yang dikuasai sekelompok elite, atau kerap disebut sebagai oligarki, dan dengan cepat membuat publik jatuh cinta kepadanya melalui slogan “Jokowi adalah Kita”.
Gerakan mahasiswa satu dekade terakhir ini mungkin tidak lagi mengulang apa yang pernah dilakukan ALDERA atau SMID atau yang lain. Ada perubahan pola gerakan mahasiswa sekarang dengan masa lalu, dan itu tampaknya wajar karena ia merefleksikan perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia pasca-otoritarianisme. Struktur ekonomi Indonesia di era reformasi adalah neoliberal dan itu memengaruhi hubungan gerakan mahasiswa dan sektor-sektor lainnya.
Restrukturisasi neoliberal membuat pasar tenaga kerja lebih fleksibel, dan tentu saja menghilangkan posisi istimewa mahasiswa di bursa tenaga kerja. Kepastian dan keamanan bekerja menjadi goyah oleh model tenaga kerja outsourcing.
Dengan demikian, dalam jangka panjang, posisi sosial-ekonomi mahasiswa tidak berbeda dengan buruh biasa tanpa pendidikan tinggi. Kegelisahan ini, seperti yang terjadi pada generasi pendahulunya, pada akhirnya membuat mahasiswa bersentuhan dengan gagasan lebih ideologis. Kemudahan akses informasi via internet, terutama di media sosial hari ini, dengan cepat membuat mereka mengadopsi gagasan progresif, menggugat kemapanan elite, dan sekumpulan orang menjadi kaya dengan curang tanpa peduli mayoritas rakyat miskin. Perubahan sosial akibat dampak teknologi informasi, ketika peran sentimen menjadi lebih penting ketimbang akal sehat, dengan mudah membangkitkan gaya politik populisme. Asal berbeda dengan elite maka mudah menarik simpati dari rakyat kebanyakan.
Dalam hal ini, politik kerakyatan tak selalu sama artinya dengan populisme, meskipun sebagai sebuah gaya politik, populisme bisa diadopsi oleh politik konservatif maupun progresif. Politik kerakyatan melihat persoalan secara struktural dan menawarkan perubahan dengan penataan yang lebih demokratis dan adil. Dia bisa tampil dengan gaya populis, namun selalu berorientasi solusi yang memenangkan kepentingan rakyat.
Pada titik itu, dengan problem ekonomi-politik global yang terus berkembang, politik kerakyatan mungkin akan menjadi gagasan yang akan diambil atau mungkin juga ditinggalkan. Namun demikian, perlu dicermati, pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan unsur keadilan, akan membawa kesenjangan kembali meluas. Rakyat yang terpinggirkan akan mencari juru bicaranya lagi. Jika kesenjangan itu dibiarkan terus melebar, seperti juga ALDERA pada masanya, gerakan mahasiswa Indonesia akan selalu punya kesempatan menoleh ke politik kerakyatan, dan gencar menyuarakannya kembali.
***
Buku ini berisi 306 halaman yang dibagi dalam 7 bagian. Di halaman-halaman terakhir juga dicantumkan narasumber-narasumber utama beserta dengan profil singkatnya.
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Buku Kompas, 2022
PT Kompas Media Nusantara
JI Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270
E-mail: buku@kompas.com
***
Penggagas : Pius Lustrilanang
Editor : Marlin Dinamikanto
Tim Penulis : Teddy Wibisana (Ketua), Nanang Pujalaksana, Rahadi T. Wiratama
Pewawancara : Bayu Mardianto
Supervisor : Donny Dunda, Alif Iman Nurlambang, Taufan Hunneman, Ferry Haryono Machsus, Ch. Ambonh, Airino Thamrin
Riset dokumen : Eeng Suhendi
Riset foto : Sunandar Yuyuy, Opak
Tata letak & sampul : Sijo Sudarsono
Sumnber : Detik.com