JAKARTA, ACEHZONE.COM – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendatangi Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Jalan Imam Bonjol No 29, Jakarta, Jumat 27 Januari 2023.
Ketua Komisi 1 DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky bersama anggota terdiri dari, Samsul Bahri Bin Amiren, Nora Indah Nita, Tgk Attarmizi Hamid, Drs Taufik, dan Nuraini Maida, diterima Deputi Teknis KPU, Eberta Kawima.
Iskandar menyampaikan, penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) 2024 agar PKPU yang dikeluarkan nantinya memuat daftar usulan kuota calon legislatif (Caleg) 120 persen dari partai politik lokal (Parlok) di Aceh.
Menurutnya, berdasarkan pasal 17 Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2008 tentang partai politik lokal peserta pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 memuat paling banyak 120 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan,” kata Iskandar, Jumat
Lalu, lahirnya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 merupakan amanah atau delegasi dari Pasal 80 ayat (1) huruf d dan huruf e dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 80 ayat (1) huruf d dan e mengatur tentang hak partai politik lokal ikut serta dalam Pemilu untuk memilih anggota DPRA, DPRK dan hak mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA/DPRK.
Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mendelegasikan pengaturan tentang keikutsertaan partai politik lokal dan mengajukan calon dalam Pemilu diatur dengan Qanun Aceh.
Sambung Iskandar, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan undang-undang yang bersifat khusus dan khusus berlaku di Aceh.
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 merupakan turunan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang bersifat khusus merupakan bagian dari kekhususan.
Sehingga, kata Iskandar, sangat rasional apabila partai politik lokal yang lahir atas dasar Undang-Undang Khusus juga diperlakukan khusus agar dapat setara dengan partai politik nasional atau dengan kata lain kekhususan adalah tindakan afirmasi (diskriminasi positif).
Dalam hukum administrasi negara dikenal dengan asas presumption justea causa, setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat/badan berwenang harus dianggap sah kecuali ada putusan pengadilan yang menyatakan tidak sah.
“Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 dibuat oleh badan yang berwenang dalam hal ini DPRA dan Gubernur, masih sah berlaku mengikat karena belum ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya dan belum pula dicabut atau diamandemen,” ujar Iskandar.
Kata dia, bisa dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lain misalnya bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi, masih tetap sah dan berlaku mengikat serta menjadi payung dalam tindakan atau keputusan yang dibuat oleh otoritas yang diberi wewenang sepanjang belum putuskan tidak berlaku atau dicabut.
“Dalam memaknai konsep perlakuan adil dan setara tidak berarti harus di perlakukan sama, perlakuan yang sama pada kondisi yang sama, kalau kondisi tidak sama maka diperlakukan berbeda.
Antara partai nasional dan partai lokal berada pada kondisi berbeda, partai lokal masih baru membutuhkan penguatan. Sementara partai nasional sudah lama keberadaannya dalam gelanggang politik rakyat.
Sehingga dapat diperlakukan tidak sama, untuk itu partai lokal mengajukan 120 persen Caleg nya di setiap daerah pemilihan (Dapil) bukanlah tidak adil atau tidak setara,” kata politisi asal Aceh Timur itu.
Dia menambahkan, pengajuan Caleg 120 persen pada setiap Dapil bagi Parlok di Provinsi Aceh bahkan sudah dilaksanakan mulai Pemilu 2009, 2014 dan 2019 berdasarkan regulasi khusus yang berlaku di Aceh, dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum bila ditafsirkan berbeda untuk Pemilu 2024.
“Kami mengingatkan dari awal, sehingga KPU RI bisa memahami dan tidak salah mengambil sikap dalam menuangkan pada juknis PKPU nantinya.
Semoga ini bisa menjadi rujukan dan bahan pertimbangan KPU untuk memutuskan kebijakan terkait Aceh, yang memang memiliki kekhususan dari provinsi lain di Indonesia,” ujar Iskandar.