ACEHZONE.com | BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meminta seluruh elemen sipil, akademisi dan juga politisi di Aceh untuk mengawal terkait revisi Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Hal itu disampaikan oleh Ketua DPRA, Saiful Bahri dalam rapat sharing pendapat terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, di gedung dewan setempat, Selasa (7/11).
Dalam rapat tersebut, turut hadir sejumlah anggota DPRA seperti Ketua Banleg DPR Aceh Tgk Mawardi, Wakil Ketua DPRA Hendra Budian, Ketua Fraksi Partai Aceh Tarmizi SP, Ketua Fraksi Gerindra Azhar Abdurrahman, Ridwan Yunus, Irfansyah dan sejumlah anggota dewan lainnya.
Hadir juga sejumlah perwakilan elemen sipil dan akademisi Aceh, seperti Wakil Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Kamaruddin Abubakar atau akrab disebut Abu Razak, selanjutnya Zulfikar Muhammad, Syakya Meirizal.
Hendra Saputra dari Lembaga Studi Pemantau Perdamaian (LSDP), Hendra Fadli, Syahrul dari LBH Banda Aceh, Khairil Arista dari NGO HAM Aceh.
Dan sejumlah elemen sipil lainnya. Ikut serta dalam sharing pendapat ini para akademisi dan perwakilan kampus di Aceh, seperti Dr Effendi Hasan dan Nafis dari BEM USK.
Diketahui, mayoritas peserta diskusi menyatakan sepakat untuk merevisi UUPA seperti rencana yang dilakukan DPR RI, dan telah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
“Saya sepakat revisi UUPA secara terbatas, kita kawal secara terbatas. Kalau secara umum (UUPA) yang direvisi secara keseluruhan ini tipis kemungkinan tidak terjadi masalah di kemudian hari,” kata anggota DPRA, Ridwan Yunus.
Menurut Ridwan Yunus, kekhawatiran tersebut muncul lantaran DPR Aceh tidak dapat mengawal secara optimal pembahasan revisi undang-undang itu, karena dilaksanakan oleh DPR RI.
Namun, pihak DPR Aceh hanya bisa mengawalnya di kemudian hari melalui aturan turunan UU yaitu Qanun atau Peraturan Gubernur (Pergub) semata.
“Mau atau tidaknya (UUPA) direvisi, kembali lagi kepada DPRA atau masyarakat Aceh. Istilahnya bola sudah dilempar ke lapangan, maunya apa dimainkan atau ditendang, terserah kepada bapak-bapak,” ungkap dia.
Ia juga merujuk kepada pengalaman politik hukum yang menggerus kewenangan Aceh pada tahun 2012. Selain itu, ada pula beberapa produk hukum baru di Indonesia yang “memutilasi” kekhususan Aceh termasuk Pemilu serentak sejatinya berlangsung pada 2022 menjadi tahun 2024.
“Kalau memang masyarakat Aceh kompak, bukan tidak mungkin kita revisi, tetapi terbatas, dengan syarat pemerintah Indonesia rela bahwa undang-undang ini dijalankan, kalau tidak diberikan kewenangan untuk ketiga asas itu disatukan menjadi lex specialis terhadap semua kehidupan di luar enam masalah ini, kita siap,” tutup Ridwan Yunus.